MAKALAH
Pondok
Pesantren Di Indonesia
Untuk
Memenuhi Tugas:
Mata
Kuliah “Studi Lembaga Pendidikan Islam”
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok
VIII (Delapan)
Ketua : Irvanuddin
Anggota : Sisna Julia
Abdus Salam
UNIVERSITAS
Al-WASHLIYAH (UNIVA) MEDAN
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
KEPENDIDIKAN
ISLAM
TA.
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga
penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Studi Lembaga Pendidikan
Islam dengan judul “Pondok
Pesantren” di Universitas
Al-Washliyah (UNIVA) Medan.
Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu dosen mata kuliah
Studi Lembaga Pendidikan Islam yang telah membimbing dan memberikan
kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat, agar
dapat memenuhi tugas mata kuliah Studi Lembaga Pendidikan Islam.
Medan, 27 Maret 2012
Pemakalah
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
- Latar belakang masalah
- Rumusan masalah
- Batasan masalah
- Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
- Sejarah perkembangan pondok pesantren di Indonesia
- Sistem pendidikan pondok pesantren
- Unsure-unsur sebuah pondok pesantren
BAB III PENUTUP
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu,
lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan
berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.
Pada zaman walisongo, pondok pesantren
memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada
zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial
Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren
(Hasbullah 1999:149).
B.
Rumusan
Masalah
Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah
mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting
dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih
diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab
yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan
tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
C.
Batasan
Masalah
Dalam penulisan makalah ini, kami pemakalah
mempunyai batasan –batasan pembahasan guna untuk tidak memperlebar pembahasan
yang akan dibahas nantinya. Adapun batasn masalahnya antara lain:
Ø Berbicara mengenai perkembangan pondok
pesantren.
Ø Melihat sitem pendidikan pondok pesantren.
Ø Berbicara mengenai unsure-unsur pondok
pesantren.
D.
Tujuan
Penulisan
Dalam membuat suatau makalah atau karya,
tentunya penulis atau pemakalah menpunyai beberapa tujuan. Adapun tujuanya
antara lain:
Ø Ingin mengkaji lebih dalam mengenai pondok
pesantren.
Ø Ingin menambah khazanah keilmuan mengenai
pembahasan pondok pesantren.
Ø Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Studi Lembaga
Pendidikan Islam”.
BAB II
PEEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Pondok Pesantren Di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan
Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit
sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu,
terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat
kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan
Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan
sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak
melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di
Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda
membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan
Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan
Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi
tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus
mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi
dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran
mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas
dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan
pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini
1997:149)
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan
kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan
Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi
tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada
tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum
seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi
modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum
tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren
sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah
anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun
dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum
yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati
sebab santrinya kurang cukup banyak
(Dhofier 1985:41).
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut
baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang
dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan
dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup
pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya
luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam
tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.
B.
Sistem
Pendidikan Pondok Pesantren
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar
masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi
sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu
malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut
Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah
yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini
berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti
sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu
yang lebih lama.
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem
pengajaran, yaitu sistem sorogan,
yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan
yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar
secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan
dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan
kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid
seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan
selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan
pesantren ialah sistem bandongan atau
wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok
murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan
buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa
yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok
pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan
individual.
Pesantren
sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan
pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem
salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan
sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem
tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren
adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di
pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai
kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang
selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren
modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka
atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di
pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).
C.
Unsur-Unsur
Sebuah Pondok Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren,
harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai
untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal
dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal
dari kata santri, yang dengan awalan pe
di depan dan akhiran an berarti
tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah
asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren
mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa
mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga
pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau
di Sumatra Barat, dan pondok pesantren
di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak
macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat
dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau
perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren
yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur
pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau
kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren
dengan lembaga pendidikan lainnya.
a.
Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian,
pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan
unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan
pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan
wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat
menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah,
1999:144).
Istilah
kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek,
1986:130).
Dalam
bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
1.
Sebagai gelar
kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. contohnya, “kyai garuda
kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
2.
Gelar kehormatan
bagi orang-orang tua pada umumnya.
3.
Gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para
santrinya (Dhofier 1985:55).
b.
Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat
dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin
selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat
lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik,
dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat
penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai
“tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek
sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan
oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid.
Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c.
Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali
dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap
membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari
seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang
alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap
untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok,
yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri
yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah
selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal
dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi
pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok
pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan
untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu
keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian
yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di
pesantren (Dhofier, 1985:52).
d.
Pondok
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat
sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah,
1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya
pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok
yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa
memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan
dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung
selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung
madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan
pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan
kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang
dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang
dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan
bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap
hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus
memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara
lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi
pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan
Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau
atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).
e.
Kitab-Kitab
Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama
terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam
Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik
sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab
kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal
yang diberikan dalam lingkungan pesantren”.Pada saat ini, kebanyakan pesantren
telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga
penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik
masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan
kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih
mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab
yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang
diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk:
1.
Nahwu
dan saraf (morfologi)
2.
Fiqh
3.
Usul
fiqh
4.
Hadis
5.
Tafsir
6.
Tauhid
7.
Tasawwuf
dan etika
8.
Cabang-cabang
lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan
kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah
dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama
(Dhofier 1985:51).
BAB III
PENUTUP
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia,
pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya
sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa
lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah
sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah
penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan
memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda
tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah
ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan
Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan
pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem
pengajaran, yaitu sistem sorogan,
yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan
yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar
secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan
dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan
kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid
seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan
selanjutnya di pesantren.
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama
terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam
Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik
sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab
kebanyakan berwarna kuning.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Hasbullah, Drs, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1999.
Ø Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,
Jakarta:1985.
Ø Zuhairini, Dra. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1997.
Ø Azra, Prof.Dr.Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Penerbit Kalimah, Jakarta: 2001.
Ø Ziemek, Manfred., Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Bumi Aksara Jakarta: 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar