Tinggalkan Komentar Anda

Terimakasih Sudah Berkunjung Di Kumpulan Makalah Praktis
Mohon Kritik Dan Saran yang Sifatnya Membangun, Untuk Perbaikan Tulisan Kumpulan Makalah Praktis
Cantumkan Link/alamat Web Anda Jika Ingin DiCopas
Berkomentarlah Yang Sopan dan santun
Terimakasih

Selasa, 27 Maret 2012

Model Manajemen Dalam Islam


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa  yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya  sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai  tugas mata kuliah Manajemen SDM Islam dengan judul “Model-model Manajemen Pendidikan Islam  di Universitas Al-Washliyah (UNIVA) Medan.
Terima kasih kami sampaikan kepada Ibu dosen mata kuliah Manajemen SDM Islam yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Manajemen SDM Islam.

Medan, 27  Maret 2012

Pemakalah

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar belakang masalah
  2. Rumusan masalah
  3. Batasan masalah
  4. Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
  1. Pengertian manajemen pendididikan islam
  2. Model manajemen yang tepat untuk mengembangkan pendidikan islam
BAB III PENUTUP
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. “Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan”[1]. Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah Negara, semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut  dan Universitas.

B.     Rumusan Masalah
Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.

C.    Batasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah mempunyai batasan-batasan pembahasan agar pembahasan tidak melebar. Adapun batasan masalahnya antara lain:
Ø  Membahas pengertian manajemen pendidikan islam.
Ø  Menerapkan model manajemen pendidikan islam yang tepat untuk pendidikan islam.
D.    Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah mempunyai tujuan antaara lain:
Ø  Ingin mengetahui lebih dalam mengenai pengertian manajemen pendidikan islam
Ø  Ingin membandingkan model-model manajemen pendidikan islam yang tepat unruk dunia pendidikan islam.
Ø  Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Manajemen SDM Islam”.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Manajemen Pendidikan Islam
Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily (1995 : 372) management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
“Ramayulis  menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan)”[2]. Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :

يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. “Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain”[3].
“Sedangkan Sondang P Siagian (1980 : 5) mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain”[4].
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

B.     Model Manajemen Yang Tepat Untuk Mengembangkan Pendidikan Islam
Dari perspektif sejarah, lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren itu tumbuh dari bawah, dari gagasan tokoh-tokoh agama setempat. Diawali dari pengajian yang lantas mendirikan mushalla/masjid, madrasah diniyah, dan kemudian mendirikan pesantren atau madrasah.  Sebagian besar tumbuh dan berkembang dari kecil dan kondisinya serba terbatas. Selanjutnya ada yang tubuh dan berkembang dengan pesat atau mengalami continuous quality improvement, ada juga yang stagnant (jalan di tempat) dan ada pula yag mati. Bagi yang terus berkembang hingga mampu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum dan perguruan tinggi, didukung oleh usaha-usaha lain yang bersifat profit seperti pertanian, perdagangan, percetakan, industri jasa dan lain sebagainya.
Sejak dekade 90-an, kesadaran umat untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam mulai bangkit dimana-mana dan beberapa di antaranya telah mampu menjadi sekolah unggul atau sekolah yang efektif (effective school)”[5].Yang menjadi persoalan adalah model manajemen yang bagaimana yang tepat bagi pendidikan Islam yang memiliki karakteristik tersebut?
1.      Manajemen yang Bernuansa Entrepreneurship.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa sebagian besar pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan dari kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai tambah. Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah manajemen yang bernuansa entrepreneurship. Rhenald Kasali dalam “Paulus Winarto menegaskan bahwa seorang entrepreneur adalah seorang yang menyukai perubahan, melakukan berbagai temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain”[6], menciptakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain. Seorang manajer yang sekaligus sebagai seorang entrepreneur memiliki karakter sebagai berikut: memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai tantangan, punya daya tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Menjadi seorang entrepreneur diperlukan integritas yang kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Seorang entrepreneur adalah orang yang berani mengambil keputusan “keluar dari zona nyaman dan masuk ke dalam zona ketidakpastian (penuh resiko)”. Manajer yang biasa (konvensional) sebenarnya adalah orang yang paling membutuhkan keamanan dan status quo, dan sebaliknya takut pada perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di puncak piramida dalam struktur organisasi dengan segala fasilitas, kedudukan dan kehormatan yang melekat padanya.
Seorang entrepreneur pada dasarnya adalah seorang pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu yang baru, dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang dilakukan itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan memberi nilai tambah bagi diri maupun orang lain. Dalam upaya untuk menciptakan nilai tambah seorang entrepreneur sangat mengutamakan kekuatan brand, yaitu citra atau merek yang kuat atas apa yang dilakukannya. Dengan brand yang baik  jelas akan memberikan value yang tinggi. Brand image bagi sebuah lembaga pendidikan merupakan aset yang paling berharga yang mampu menciptakan valuebagi stakeholder dengan meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas dan akhirnya melahirkan kepercayaan. Seorang manajer yang sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa membangun brand belaka, namun juga memanfaatkan kekuatan brand untuk melipatgandakan akselerasi sebuah perubahan.
Pesan Kyai Dahlan (KH. Ahmad Dahlan) agar meng”hidup-hidupi Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah” dapat ditafsirkan dalam konteks semangat entrepreneurship. Artinya setiap orang yang bekerja di lembaga amal usaha Muhammadiyah harus mampu memberikan nilai tambah bagi perkembangan lembaganya.  Dengan cara inilah akan terjadi penumpukan capital (capital development) sehingga amal usaha Muhammadiyah dapat terus tumbuh dan berkembang.
2.      Management based society
Yaitu manajemen yang dapat menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. “Data EMIS Departemen agama menunjukkan 90% madrasah berstatus swasta dan 100 % pesantren adalah swasta”[7].Ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam adalah lembaga milik masyarakat, atau bisa dikatakan “dari, oleh dan untuk masyarakat”. Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah manajemen yang dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima, dimiliki dan dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya. Konsep Manajemen berbasis sekolah (Management Based School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society Based Education) dalam konteks otonomi daerah, lahir karena dilandasi oleh kesadaran bahwa masyarakat punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di daerahya disamping sekolah dan pemerintah.
Bagi lembaga pendidikan Islam yang memang “dari, oleh dan untuk masyarakat”, maka mengembalikan pendidikan Islam kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan apabila pendidikan Islam ingin mengambil dan mendayagunakan kekuatannya. Dengan kata lain, masyarakat adalah kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut pendidikan Islam dari grass root nya (masyarakat) justru akan memperlemah pendidikan Islam itu sendiri. Pondok pesantren yang mampu menjaga hubungan baiknya dengan basis sosialnya terbukti dapat terus berkembang, dan sebaliknya akan mengalami surut ketika ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Lembaga-lembaga pendidikan di Negara-negara maju terutama yang berstatus privat pada umumnya terdapat lembaga semacam Dewan Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan Penyantun, Majlis Wali Amanah dan lain sebagainya yang antara lain  bertugas  memperhatikan hubungan, kedekatan dan aspirasi masyarakat serta siap mendayagunakan potensi masyarakat dan memberikan layanan pengabdian (langsung maupun tidak langsung) kepada masyarakat. Di Stanford University misalnya ada The Board of Trustees yang berwenang mengelola dana hibah dan hadiah (grand), sumbangan (endowment) dan lain sebagainya yang dihimpun dari dana masyarakat untuk pengembangan Stanford University.
Di Negara-negara persemakmuran seperti di University of London United Kingdom dan McGill University Canada misalnya terdapat lembaga yang namanya Board of Governor. Anggota lembaga ini sebagian besar dari luar universitas yang pada umumnya memiliki tugas dan peran sebagaimana The Board of Trustees pada Stanford University. McGill University misalnya, lembaga ini dapat berkembang karena semangat amal dari masyarakatnya. Diawali dari hibah James McGill yang menghibahkan sebagian kekayaannya berupa uang 10.000 pound sterling dan tanah 40 hektar beserta real estat yang ada di dalamnya, lembaga ini didirikan dan berkembang dengan terus menggali dana dari masyarakat sampai sekarang. Di McGill, semangat beramal itu tidak hanya dalam pengertian materi terutama dari para dermawan dan hartawan, tetapi juga perbuatan. Dosen, karyawan dan pimpinan McGill rela bekerja keras karena dilandasi oleh semangat amal, semangat beribadah.
Semangat beramal untuk membangun lembaga pendidikan dalam tradisi iman umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan umat Islam pernah menjadi pelopor (avant-garde) dalam komitmennya mengembangkan lembaga pendidikan melalui semangat amal. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana membangkitkan kembali semangat beramal ini dalam mengembangkan pendidikan Islam? Pertama, adanya lembaga semacam Board of Trustees atau semacam Majlis Wali Amanah yang anggotanya dari wakil masyarakat yang memiliki integritas dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan Islam. Kedua, perlu dibangkitkan kembali semangat juang (jihad), etos kerja semua komponen stake holder internal sebagai wujud amal (perbuatan) nyata. Ketiga, perlu diterapkan manajemen mutu terpadu (total quality management)  dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
3.      Management Based Mosque atau Manajemen Berbasis Masjid.
Sebagaimana dikemukakan di muka, embrio pendidikan Islam adalah Masjid. Manajemen pendidikan Islam yang berbasis masjid adalah manajemen yang dijiwai oleh nilai dan semangat spiritual, semangat berjamaah, semangat ihlas lillahi ta’ala (ihlas karena Allah) dan semangat memberi yang hanya berharap pada ridlo Allah. Proses pembelajaran yang integratif dengan masjid memberikan nuansa religius yang kental dalam penanaman nilai-nilai religius maupun praktek langsung pengalaman beragama. Dimulai dari pembiasaan shalat dluha, shalat dluhur berjamaah dan  shalat Ashar berjamaah bagi yang full day school

BAB III
PENUTUP

Manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa sebagian besar pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan dari kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai tambah. Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah manajemen yang bernuansa entrepreneurship.
Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah manajemen yang dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima, dimiliki dan dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya.
Konsep Manajemen berbasis sekolah (Management Based School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society Based Education) dalam konteks otonomi daerah, lahir karena dilandasi oleh kesadaran bahwa masyarakat punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di daerahya disamping sekolah dan pemerintah.
Sebagaimana dikemukakan di muka, embrio pendidikan Islam adalah Masjid. Manajemen pendidikan Islam yang berbasis masjid adalah manajemen yang dijiwai oleh nilai dan semangat spiritual, semangat berjamaah, semangat ihlas lillahi ta’ala (ihlas karena Allah) dan semangat memberi yang hanya berharap pada ridlo Allah. Proses pembelajaran yang integratif dengan masjid memberikan nuansa religius yang kental dalam penanaman nilai-nilai religius maupun praktek langsung pengalaman beragama. Dimulai dari pembiasaan shalat dluha, shalat dzuhur berjamaah dan  shalat Ashar berjamaah bagi yang full day school.

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2003.
Ø  Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2008.
Ø  Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), PT Indeks, Jakarta, 2007.
Ø  Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, CV Masaagung, Jakarta, 1990.
Ø  Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. Jakarta: 2000.
Ø  Paulus Winarto, First Step to be an Entrepreneur. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2003.
Ø  www.bagais.go.id.S




[1]              Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2003, Hal 1
[2]              Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2008 Hal 67
[3]              Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), PT Indeks, Jakarta, 2007, Hal 35
[4]              Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, CV Masaagung, Jakarta, 1990, 56
[5]              Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. Jakarta: 2000. Hal 31
[6]              Paulus Winarto, First Step to be an Entrepreneur. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2003. Hal. 3.

[7]              www.bagais.go.id.

3 komentar: