A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Segala puji
bagi Allah Ta’ala yang telah mengutus hambaNya Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam dengan membawa kebenaran, menyampaikan amanat kepada ummat dan
berjihad dijalanNya hingga akhir hayat. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan
kepada beliau, berikut para keluarga, shahabat dan pengikutnya yang setia.
Sudah sejak
dahulu masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat
Islam. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam keluar menemui
shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, ketika itu mereka sedang berselisih tentang
masalah Qadha’ dan Qadar ( takdir ) maka beliau melarangnya dan memperingatkan
bahwa kehancuran umat – umat terdahulu tiada lain karena perdebatan seperti
ini.
2.
Rumusan Dan Batasan Masalah
Allah menetapkan setiap yang hidup pasti merasai mati dan tidak ada seorang
pakar perubatan pun yang mampu mengubah kenyataan ini. Semua ini dan yang
lain-lainnya tidak dapat diubah sebab ia adalah ketetapan Allah sejak dari
azali lagi berdasarkan kebijaksanaanNya yang tanpa batas dan ia telah menjadi
hukum alam yang dikenali sebagai hukum sebab musabab dan sebab akibat. Justeru,
hukum alam yang berkait rapat dengan kehidupan manusia ini adalah sebahagian
daripada ketetapan qada dan qadar.
Adapun batasan maslah dari penulisan makalah ini
antara lain, yaitu:
Ø Makalah ini membahas tentang pengertian qadha dan
qadhar Allah SWT.
Ø Makalah ini membahas hubungan qadha dan qadhar SWT
dan kewajiban untuk beriman terhadap keduanya.
3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah antara lain
sebagai berikut:
Ø Pemakalah ingin mengupas lebih jauh tentang qadha
dan qadhar secara etimologi maupun terminologi
Ø Pemakalah ingin mengetahui tentang implementasi
qadha dan qadhar serta kaitannya dengan kehendak manusia.
Ø Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Al-Islam”.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Qadha dan Qadar
Menurut
bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum,
ketetapan pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah
Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali
sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan
makhluk.
Sedangkan Qadar
arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun
menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua
makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Kata
Qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir)
yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan
sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha
berarti menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan
semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang
berarti nasib.
Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah SWT telah
menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya
masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat
terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab.
Sedangkan
yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian
wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu.
Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari tahap qadha', karena
di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan syarat-syarat yang jauh,
tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya
sebagian sebab dan syaratnya. Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur
dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang
sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada
takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar
atau gugurnya janin pada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada
takdir itu.
Adapun
tahap qadha' bersifat seketika (daf'i). Qadha' ini berhubungan dengan
tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat
pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah SWT berfirman:
"Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan mengatakan,
"Jadilah." Maka terjadilah." (QS. Ali Imran: 47)
Akan
tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha' dan qadar ini juga bisa
digunakan sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah qadha' dan qadar dapat
dibagi menjadi dua bagian: qadha' dan qadar yang pasti (hatmi) dan
qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan
pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan
tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim
dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha'.
2.
Tingkatan
qadha’ dan qadar
Menurut
Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :
Ø Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)
Artinya
mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci,
baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada
sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.
Ø Kedua : Al-kitabah (penulisan)
Artinya
mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam
Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan
ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ
إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”.
(Al-Hajj:70)
Oleh karena itu
hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang
telah ditentukan Allah Ta’ala.
Ø Ketiga : Al-
Masyiah ( kehendak ).
Artinya: bahwa
segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah
dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an
Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta
apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:
لِمَن شَاء
مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi
siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)
وَلَوْ شَاء
رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ
“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya”. (Al–An’am 112)
Oleh karena
itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan
mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang
terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu
yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.
Ø Keempat : Al–Khalq (
penciptaan )
Artinya
mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di
bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari
kehidupan itupun diciptakan Allah.
الَّذِي خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang
menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)
Jadi segala
sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah
Ta’ala. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil
perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai,
matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan
Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti : sifat,
perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa
sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang
kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?
Jawabnya: Ya,
memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya
dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul
karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan
kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan
sebab dialah yang menciptakan akibatnya.
Jadi, sebagai
argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah
bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak
dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak
akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan
dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak
akan terjadi suatu perbuatan.
Jika perbuatan
manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna,
sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah
Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan
manusia adalah Allah Ta’ala.
Akan tetapi,
pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang
melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan
ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya
saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang
diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.
Keempat
tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal
ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku
perbuatan.
3.
Antara
Qadha', Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran
yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha' dan qadar 'aini Ilahi itu
menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal
keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan
sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan
pengaturan Ilahi yang mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi
kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh
bersandar kepada kehendak Allah SWT.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud
setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah)
Allah SWT, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin
mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala
sesuatu bersandarkan kepada qadha' dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala
realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta
ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya
lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh
Mandiri; sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar
dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh
makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan
lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan
tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha' Ilahi adalah sulit dan
lebih banyak menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara
keimanan terhadap qadha' Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang
ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat
sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy'ariyah, tatkala
mereka menerima kemutlakan qadha' Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia,
tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain
halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu'tazilah. Madzhab
teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu'tazilah mengingkari
qadha' Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan
berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan
ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang
lainnya, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam
risalah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh,
keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka
di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh
dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada
kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada
kehendak dan qadha' Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu
disandarkan kepada qadha' Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada
kehendak bebas manusia itu sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam
ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta
penyandaran dan penisbahannya kepada qadha' Ilahi, kita mesti membahas berbagai
macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan
menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada
dirinya dan kepada Allah SWT.
4.
Macam
Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya
pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk
melalui beberapa keadaan:
Pertama,
beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas
sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang
menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
Kedua,
beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan
pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi
sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari
sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa
mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah
pesawat.
Ketiga,
masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti
benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga
sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang
menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi dan
menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat
perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh
tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan
menulis.
Keempat,
pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal, dimana wujud setiap sebab
itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di
atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan
wujud tangan juga tidak berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa
terjadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar
bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan
pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat
sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu
keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu
berhubungan erat dengan kehendak Allah SWT.
5.
Hubungan antara
qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada
qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT
telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha
dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya:
”Sesungguhnya
seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari menjadi segumpal daging,
kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan
empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan
(jalan hidupny) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Mas’ud).
Dari hadits di
atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah sejak
sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak
berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan
ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak
datang dengan sendirinya.
Janganlah
sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat
kejahatan.
Mengenai
hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat,
bahwa takdir itu ada dua macam :
Ø Takdir
mua’llaq
Yaitu takdir
yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contoh seorang siswa bercita-cita
ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar
dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi
insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya: Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11)
Ø Takdir
mubram
Yaitu takdir
yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di
tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan
mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya
kulit putih dan sebagainya.
6.
Hikmah Beriman
kepada Qada dan qadar
Dengan beriman
kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam
menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Hikmah tersebut antara lain:
Ø Melatih diri
untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman
kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur,
karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri.
Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut
merupakan ujian, Allah Berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya:”dan
apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila
ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta
pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
Ø Menjauhkan diri
dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang
tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia
menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri.
Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh
kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya
adalah ketentuan Allah.
Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an :
Artinya: Hai
anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf
ayat 87).
Sabda
Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam
hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim).
Ø Memupuk sifat
optimis dan giat bekerja
Manusia tidak
mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan
bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi
harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar
senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan
itu.
Allah SWT berfirman
dalam Al-Qur’an:
Artinya : Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas
ayat 77)
Ø Menenangkan
jiwa
Orang yang
beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam
hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah
kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah
atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
Menurut
bahasa Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum,
ketetapan pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah
Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali
sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan
makhluk.
Sedangkan Qadar
arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun
menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua
makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Taqdir Allah
merupakan iradah (kehendak) Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai
dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan
kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang
diberikan Allah kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan
atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas.
Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita
belum mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
2.
Saran
Dalam penulisan makalah ini, pemakalah mempunyai beberapa antara
lain yaitu:
Ø Sebagai umat muslim kita wajib untuk mengimani qadha dan qadhar
Allah SWT.
Ø Adakalanya ketentuan Allah SWT yang mungkin tidak sesuai dengan apa
yang kita inginkan, namun sebagai hamba Allah SWT kita diwajibkan untuk
berikhtiar atau berusaha untuk merubah sesuai dengan apa yang inginkan.
Kendatipun demikian, selain berikhtiar kita harus berdoa dan bertawakal kepada
Allah SWT terhadap ketentuan-Nya yang diberikan kepada kita.
D.
Daftar Pustaka
Ø Al-Quranul kariem
Ø Asmuni,
Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996
Ø Nata, Abuddin.” Ilmu
kalam, Filsafat, dan tasawuf” Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1995
Ø Rozak, Abdul,
dkk . Ilmu kalam. Bandung:CV. Pustaka setia,2006.
Ø Drs.
Abuddin Nata, M.A. “Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf”.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
Ø Drs. H. M
Yusran Asmuni. “Ilmu Tauhid”, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar