Tinggalkan Komentar Anda

Terimakasih Sudah Berkunjung Di Kumpulan Makalah Praktis
Mohon Kritik Dan Saran yang Sifatnya Membangun, Untuk Perbaikan Tulisan Kumpulan Makalah Praktis
Cantumkan Link/alamat Web Anda Jika Ingin DiCopas
Berkomentarlah Yang Sopan dan santun
Terimakasih

Jumat, 21 Februari 2014

Implementasi Kebijakan Pendidikan

A.    Pendahuluan
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu pertama,  mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; kedua, mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang dikembangkanlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab.
Pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah tersebut, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.

B.     Pengertian Kebijakan Pendidikan
1.      Kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis. Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.http://indrycanthiq84.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif?m=1207340914g
Berikut adalah definisi kebijakan.
a)      United Nations (1975) : Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
b)      James E. Anderson (1978) : perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
c)      Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt : a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).
2.      Kebijakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini:
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat. 

C.    Fungsi Kebijakan dan Pendidikan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikam nasional disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.

D.    Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1.      Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.

2.      Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3.      Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.      Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6.      Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

E.     Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia
“Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender”[1]. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
“Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)”[2]. Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme.
“Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya[3]”.

F.     Kesimpulan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik,program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Fungsi kebijakan pendidikan yaitu kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.

G.    Daftar Pustaka
1.      Imron,Ali. 2008. “Kebijakan Pendidikan Di Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara.
2.      Gunawan, H. Ary,.1986.”Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia” , Jakarta : Bina Aksara.
3.      Syafaruddin, 2008. “Efektivitas Kebijakan Pendidikan”, Jakarta: Rineka Cipta.
4.      Said Zainal Abidin, 2006.” Kebijakan Publik”, Jakarta: Suara Bebas.



[1] Imron,Ali. 2008. “Kebijakan Pendidikan Di Indonesia”. (Jakarta: Bumi Aksara), Hal 45.
[2] Syafaruddin, 2008. “Efektivitas Kebijakan Pendidikan”, (Jakarta: Rineka Cipta), Hal 23.
[3] Syafaruddin, 2008. “Efektivitas Kebijakan Pendidikan”, (Jakarta: Rineka Cipta), Hal 17.

Pengaruh Filsafat Terhadap Kajian Tasawuf

  1. Pendahuluan
Islam sebagaimana dijumapi dalam sejarah, ternyata tidak sesempit seperti yang dipahami oleh masyarakat Islam sendiri pada umumnya. Dalam sejarah terlihat bahwa Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut lahirlah berbagai disiplin ilmu keislaman, salah satunya adalah tasawuf.
Kajian tasawuf adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum Muslimin di Indonesia, terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam bidang ini dan juga melalui gerakan tarekat Muktabaran yang masih berpengaruh di masyarakat[1].

  1. Pengertian Tasawuf
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arabتصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi[2].
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad SAW yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
  1. Tasawuf Amali
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Terdapat beberapa istilah praktis dalam Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat.
Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
  1. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (يلمعا ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (رطنا ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Dari adanya aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri. kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non- Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al- qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.



  1. Asal Usul Tasawuf
Banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. “Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf, dan orangnya disebut Orang Sufi”[3].
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata “beranda” (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad SAW.

  1. Tujuan Tasawuf
Tujuan utanma orang menempuh jalan tasawuf adalah keinginan kuat untuk merasa dekat dengan Allah swt. (taqarub) sehingga Allah dirasakan hadir di dalam dirinya. Hal ini didorong oleh sebuah hadist yang berbunyI : Dan hambaku terus – menerus bertaqarub (mendekat) kepadaku dengan perbuatan – perbuatan baik sehingga aku mencintainya, Barang siapa yang Aku cintai maka Aku akan menjadi pendengaran, penglihatan, dan tangan baginya. (Harun, 1973 : 55) 
Untuk mencapai tujuan itu, ilmu tasawuf menawarkan cara-cara dan metode yang dapat dan harus ditempuh oleh seseorang yang menempuh jalan tasawuf, yang disebut dengan salik. Metode tersebut dilalui dengan cara membersihkan diri dengan menjauhkan diri dari akhlak – akhlak tercela (takhalli). Dilakukn dengan melakukan tawbah , kemudian dilanjutkan dengan menempuh fase-fase ketasawufan yang disebut dengan maqam-maqam (maqamat) dan ahwal sampai mencapai ma’rifat.

  1. Hubungan Filsafat Dengan Tasawuf
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roph, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagis kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf. Akan tetapi, perlu juga dicatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb(hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan dalam tasawuf, tetapi tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan roh dan jiwa.
Menurut sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa) adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhn jasad yang dibangun roh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan di situ tidak terdapat kerja pengekangan nafsu, sedangkan kalbu (qalb, hati) tetap sehat, tuntutan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad menjadi binasa karena melayani jiwa.

  1. Kesimpulan
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arabتصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Kajian tasawuf adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum Muslimin di Indonesia, terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam bidang ini dan juga melalui gerakan tarekat Muktabaran yang masih berpengaruh di masyarakat.
Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roph, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.

  1. Daftar Pustaka
  1. Karim Abdul Malik, 1952. Perkembangan Tasawuf dari abad kea bad, Jakarta: Grafindo Persada.
  2. Abu Zahra, Imam Muhammad. 1996. “Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam”. Jakarta: Logos.
  3. Ibrahim, Muhammad Zaki. 1989. Tasawwuf  Salafi. Bandung: Hikmah.
  4. Nata, Abuddin. 1997. ”Akhlak Tasawuf”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  5. Soleh, Khudori. 2004. “Filsafat Islam”Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Karim Abdul Malik, 1952. Perkembangan Tasawuf dari abad kea bad, (Jakarta: Grafindo Persada). Hal 30.
[2] Ibrahim, Muhammad Zaki. 1989. Tasawwuf  Salafi. (Bandung: Hikmah). Hal 27.
[3] Nata, Abuddin. 1997. ”Akhlak Tasawuf”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).Hal 37.

Pendidikan Pada Masa Penjajahan Jepang

A.   
Pendahuluan
Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir ketika pada tanggal 8 Maret 1942 mereka menyerah kepada militer kerajaan Jepang. Kemenangan tentara Jepang itu ditandai dengan penyerahan tanpa syarat oleh panglima tentara Hindia Belanda (Letnan Ter Poerten) bersama gubernur jendral pemerintah kolonial Belanda (Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer) kepada pimpinan angkatan perang Jepang (Letnan Jendral Hitoshi Imamora) pada tanggal 2 Maret 1942 di Kalijati. Selanjutnya bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan pendudukan militerisme Jepang selama hampir 3,5 tahun.
Jepang menyerbu Indonesia karena kekayaan negeri ini yang sangat besar artinyabagi kelangsungan perang Pasifik dan sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Dibalik itu,  mereka mempropagandakan semboyan Hakko Ichiu atau semboyan “kemakmuran bersama Asia Timur Raya”. Mereka menyatakan bahwa mereka berjuangmati-matian melakukan “perang suci” (melawan sekutu) demi kemakmuran bersama AsiaTimur Raya dan Jepang sebagai pemimpinnya. Dalam konsep Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya tersebut, Jepang akan menjadi pusat kendali atas delapan wilayah yakni:  Manchuria, daratan Cina, kepuluan Muangtai, Malaysia, Indonesia dan Asia Rusia.Namun demikian tujuan pendudukan militer Jepang lama kelamaan menjadi penindasan. Ada dua kebijakan pemerintah pendudukan militer Jepang  yakni menghapuskan semua pengaruh Barat di Indonesia melalui “pen-jepang-an” dan memobilisasi segala kekuatan dan sumber yang adauntuk mencapai kemenangan perang Asia Timur Raya. (Tatang Sy, 2010:217).
Maka tidak ada pilihan lain kecuali Jepang harus menang di setiap medan pertempuran. Dengan demikian seluruh kebijakan pemerintah Jepang termasuk kebijakan dalam dunia pendidikanpun pada dasarnya semata hanya untuk mendukung terwujudnya impian besar tersebut. Namun demikian bukan berarti kebijakan tersebut tidak ada dampak pisitifnya bagi masyarakat Indonesia, justru masyarakat Indonesia terutama umat Islam bisa mengambil keuntungan besar dari kebijakan-kebijakan Jepang tersebut.

B.     Masa Penjajahan Jepang
Dengan pecahnya Perang Dunia II, yang disebabkan oleh invasi tentara kerajaan Jepang tanggal 7 Desember 1941, maka runtuhlah sistem pemerintahan kolonial dan sekaligus pula sistem pendidikan yang ada di dalamnya. “Pendidikan masa penjajahan militer Jepang banyak sedikitnya telah pula mengembangkan berbagai hal positif di dalam pembinaan sistem pendidikan di Indonesia, meskipun pada dasarnya tujuan pendidikan pada masa Jepang juga tidak beda jauh dengan pendidikan pada masa pendudukan Belanda yakni semata-mata untuk mendukung kepentingan penjajah yakni menyediakan tenaga-tenaga buruh kasar secara cuma-cuma (romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan Jepang”[1]
Ada beberapa hal berkaitan dengan pembinaan sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang, yaitu:
1.      Pendidikan untuk kebutuhan perang Asia Timur Raya.
Tentara pendudukan Jepang ingin menghapuskan sisa-sisa pengaruh Barat (Belanda) di dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat antara lain pada kebijakan untuk menghapuskan bahasa Belanda dalam berbagai tulisan maupun nama toko atau perkumpulan, kemudian diganti dengan bahasa Indonesia, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun di sekolah-sekolah. Isi pendidikan juga diganti dengan kebudayaan Jepang.
2.      Dihapusnya sistem dualisme dalam pendidikan.
Pada masa Belanda pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sementara rakyat jelata sama sekali tidak memiliki kesempatan. Dengan dihapausnya dualisme dalam pendidikan ini maka siapapun boleh mengenyam pendidikan formal tanpa ada diskriminasi. Inilah tonggak sejarah demokratisasi pendidikan di Indonesia.
Sebagai gambaran diskriminasi yang dibuat Belanda, ada 3 golongan dalam masyarakat yaitu kelompok kulit putih (Eropa), kelompok  Timur Asing (Cina, India, dll) serta kelompok pribumi. Pola seperti ini mulai dihilangkan oleh pemerintah Jepang. Rakyat dari lapisan manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang juga menerapkan jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu mulai jenjang Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) 6 tahun, Sekolah Menengah 3 tahun dan Sekolah Menengah Atas 3 tahun yang akhirnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia serta perguruan tinggi.
3.      Dihapusnya sistem konkordansi dalam pendidikan.
4.      Bahasa Indonesia mulai dikembangkan sebagai bahasa pengantar, di samping bahasa Jepang.
5.      Kepedulian Sosial, artinya lembaga pendidikan diarahkan kepada tujuan perang, mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
6.      Pendidikan Kewiraan, yaitu kurikulum sekolah diarahkan kepada pembinaan pemuda-pemuda untuk menunjang mesin perang Jepang. Para pemuda dilatih semi militer, baris-berbaris dan latihan perang-perangan.(www.scribd.com/ doc/3182321).
Secara lebih mendetail tentang kebijakan pemerintah Jepang di bidang pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama: Mengambil tenaga pribumi dengan merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan. Upaya ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem Nipponize (Jepangisasi)yang mereka jalankan di Manchuria dan China. Karena itulah, di Indonesia mereka menggunakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya para Sendenbu (propagator Jepang) untuk menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Kedua: melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu, yaitu “Kemakmuran Bersama Asia Raya” dengan semboyan Asia untuk Asia; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olahraga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut: tiap pagi di sekolah-sekolah dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang“Kimigayo”. Upacara pagi dilanjutkan dengan pengibaran bendera Jepang Hinomaru dan membungkuk untuk menghormat kaisar Jepang Tenno Heika. Tiap hari para siswa harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang, melakukan taiso (senam) dan diwajibkan pula melakukan kinrohoshi (kerja bakti). Juga dibentuk  barisan murid-murid Sekolah Rakyat dan barisan murid-murid Sekolah Lanjutan.
Ketiga: Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya prosesresinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertypevokasional yang bersifat praktis.
Dari uraian di atas dapat ditarik garis lurus bahwa pendidikan pada masa pendudukan Jepang bersifat memaksa anak-anak Indonesia agar memiliki jiwa dan semangat sepenuhnya yang bisa mengabdikan diri pada Jepang dan siap untuk menjadi angkatan perang, para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik dan militer sertamembangun Semangat Jepang (Nippon Seizin) dengan semboyan Asia Timur Raya atas dasar Kemakmuran Bersama (Common Prosperity).
“Sedangkan penyelenggaraan pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu dapat diikhtisarkan sebagai berikut”[2]:
1.      Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko). Sekolah ini terbuka untuk umum dan semua golongan penduduk. Masa pendidikan 6 tahun. Termasuk di dalamnya  adalah Sekolah Pertama yang merupakan perubahan nama dari Sekolah Dasar 3 atau 5 tahun bagi kaum pribumi pada masa pendudukan Belanda.
2.      Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko), dengan lama pendidikan 3 tahun.
3.      Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakko) dengan lama pendidikan 3 tahun. Sekolah ini memiliki pengajaran umum dan ditujukan untuk menyiapkan para pelajar guna melanjutkan pada sekolah tinggi.
4.      Sekolah Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifatvokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik dan pertanian.
Adapun perguruan tinggi yang ada pada masa pendudukan Jepang adalah: Sekolah Kedokteran Tinggi (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Ahli Obat (Yaku Gakko) di Jakarta, Sekolah Kedokteran Gigi (Shika Gakko) di Surabaya, Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor dan Akademi Pemerintahan”[3].
Khusus menyangkut pendidikan Islam, kebijakan pemerintah Jepang lebih menguntungkan dan memberikan ruang gerak yang cukup lapang.Maka untuk menarik simpati dari pemeluk Islam yang mayoritas di tanah jajahan,  Jepang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan Islam.Terlebih lagi pada awalnya, pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam yang merupakan siasat untuk kepentingan perang Dunia II.
“Perhatian Jepang tersebut diberikan dalam bentuk kebijakan yang pada masa pendudukan Belanda menjadi suatu impian belaka”[4], yaitu:
1.      Mengubah Kantor Voor Islamistische Zaken (Kantor Urusan Agama) yang pada masa Belanda dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin langsung seorang tokoh muslim berpengaruh yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
2.      Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
3.      Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran Islam.
4.      Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda muslim di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
5.      Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
6.      Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal lahirnya TNI di zaman kemerdekaan.
7.      Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, biarpun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia(Masyumi) yang membawahi dua ormas besar Islam yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’.
Ada satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan yang diterapkan Jepang yakni penerapan sistem pendidikan militer. Sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan harus mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan oleh pemerintah Jepang.
Dengan demikian sistem pendidikan yang diterapkan Jepang di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan Belanda yakni pendidikan masa penjajahan Belanda bersifat lebih liberal namun terbatas untuk kalangan tertentu saja,sementara pada masa Jepang konsep diskriminasi tidak ada tetapi terjadi penurunan kualitas secara drastis baik dari sisi keilmuan maupun mutu murid dan guru. Kondisi ini tidak terlepas dari target pemerintah Jepang melalui pendidikan, Jepang bermaksud mencetak kader-kader yang akan mempelopori dan mewujudkan konsep kemakmuran bersama Asia Timur Raya yang diimpi-impikan Jepang.
Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah adanya pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang agar masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan kepada Tenno (Kaisar) yang dipercayai sebagai keturunan dewa matahari (Omiterasi Omikami). Sistem penghormatan kepada kaisar dengan cara membungkukkan badan menghadap Tenno, disebut dengan Seikeirei. Penghormatan Seikerei ini, biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (kimigayo). Tidak semua rakyat Indonesia dapat menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama. Penerapan Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang dilakukan KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah Jawa Barat. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singaparna. 

C.    Kesimpulan
1.      Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang dalam kaitannya dengan pendidikan Islam cukup banyak, seperti diajarkannya pendidikan agama di sekolah-sekolahyang dikelola Jepang, didirikannya perguruan tinggi Islam serta memberikan perhatian dan bantuan terhadap pondok pesantren.
2.      Kebijakan Jepang tersebut memberikan pengaruh cukup besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam mengingat selama dalam pendudukan Belanda, pendidikan bagi rakyat menjadi hal yang sangat langka dan hanya bisa dinikmati orang-orang tertentu saja. Sedangkan pada masa Jepang pendidikan Islam khususnya diberi ruang penuh untuk berkembang biarpun tetap dalam pengawasan Jepang. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak ada bangsa penjajah di manapun yang rela bangsa yang dijajahnya lebih pintar dari yang menjajah.Dengan kata lain kebijakan yang digariskan Jepang tersebut pada dasarnya semata-mata untuk mengeksploitasi kekuatan Islam demi mendukung kepentingan Jepang di tanah jajahan (Indonesia). Ini terbukti  pada puncak Perang Dunia II ketika Jepang mengalami tekanan hebat dari sekutu, maka mulai saat itu pula Jepang menampakkan sikap kesewenang-wenangan sebagai penjajah yang mengakibatkan penderitaan lahir batin rakyat Indonesia, khususnya orang-orang Islam sebagai penduduk mayoritas.

D.    DAFTAR PUSTAKA
1.      Sumarsono Mestoko. 1986. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka.
2.      Burhanuddin, Afid, 2011. “Pendidikan Indonesia masa Jepang” , Jakarta: Grafindo Persada.
3.      Tatang Sy, Landasan Historis Pendidikan Indonesia,file 2010.
4.      Notosusanto, Nugroho. 1993. “Sejarah Nasional Indonesia IV”. Jakarta: Balai Pustaka.
5.      Zaenuddin, 2008. “Reformasi Pendidikan”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Sumarsono Mestoko. “Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) Hal 64.
[2] Notosusanto, Nugroho. 1993. “Sejarah Nasional Indonesia IV”. (Jakarta: Balai Pustaka), Hal 34
[3] Burhanuddin, Afid, “Pendidikan Indonesia masa Jepang”, (Jakarta: Grafindo Persada, 2011) Hal 57.
[4]  Zaenuddin, 2008. “Reformasi Pendidikan”. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), Hal 45.