Tinggalkan Komentar Anda

Terimakasih Sudah Berkunjung Di Kumpulan Makalah Praktis
Mohon Kritik Dan Saran yang Sifatnya Membangun, Untuk Perbaikan Tulisan Kumpulan Makalah Praktis
Cantumkan Link/alamat Web Anda Jika Ingin DiCopas
Berkomentarlah Yang Sopan dan santun
Terimakasih

Minggu, 20 Januari 2013

Sistem Pendidikan Di Belanda


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa  yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya  sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai  tugas mata kuliah Perbandingan Pendidikan dengan judul “Sistem Pendidikan Di Belanda  di Universitas Al-Washliyah (UNIVA) Medan.
Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak dosen mata kuliah Perbandingan Pendidikan yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Pendidikan.

Medan, 30 Desember 2012

Pemakalah


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar belakang masalah
  2. Rumusan dan batasan masalah
  3. Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN
  1. Sistem Pendidikan Di Belanda
  2. Jenjang Pendidikan Di Belanda
  3. Pinjaman Dana Untuk Peserta Didik
  4. Sistem Pendidikan Belanda Yang Pernah Diterapkan Di Indonesia

BAB III PENUTUP
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
“Pendidikan merupakan indikator kemajuan suatu bangsa. Suatu bangsa yang memiliki system pendidikan yang baik tentunya akan mempunyai sumber daya manusia yang mumpuni untuk membangun negeri”[1]. Ada Negara besar yang terpuruk karena system pendidikannya buruk, namun adapula Negara dengan sumber daya terbatas namun mempunyai system pendidikan yang baik mampu menjadi Negara yang maju baik dari segi ekonomi maupun teknologi.
“Sistem pendidikan di Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Asia, Amerika, bahkan di sebagian besar wilayah Eropa”[2]. Adapun beberapa negara yang menerapkan pendidikan yang hampir sama dengan Belanda adalah Jerman dan Swedia.

B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Di Belanda, setiap cabang ilmu mendapat perhatian yang sama, atau dalam pengertian, tidak timpang sepertihalnya yang terjadi di Indonesia. Jika di Indonesia seseorang yang memiliki kemampuan khusus dan minat yang tinggi di aritmatika, science dan rumus-rumus mendapat predikat ‘cerdas’, di Belanda, seorang seniman, pencinta budaya, pegiat seni, juga termasuk dalam kategori cerdas.
Adapun batasan masalah dalam penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
Ø  Makalah ini membahas tentang system pendidikan di Belanda.
Ø  Makalah ini juga membahas tentang jenjang sekolah yang ada di Belanda.
Ø  Makalah ini juga membahas tentang sumber dana yang didapat peserta didik.

C.    Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
Ø  Untuk mengetahui lebih dalam tentang system pendidikan di belanda.
Ø  Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Perbandingan Pendidikan”.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Pendidikan Di Belanda
Untuk mencapai pendidikan yang baik, Pemerintah Belanda melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan (Menteri Marja van Bijsterveldt) mewajibkan guru-guru yang mengajar di taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas supaya berijazah universitas.
Memang tidak dimungkiri, untuk mencapai sistem yang baik diperlukan dana yang sangat besar. Belanda selain memberikan tunjangan bagi bayi sejak lahir dan anak yang tinggal di Belanda, juga memberikan tunjangan pendidikan kepada murid-murid (sekolah khusus, umum, kejuruan) dan mahasiswa.
“Sejak tahun 1815 M, Belanda sudah mempunyai sistem pendidikan yang baik dan berkembang terus. Ijazah pendidikan Belanda sangat dihargai di dunia internasional”[3]. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi siswa atau mahasiswa asing yang belajar di Belanda.
Apalagi, pilihan sekolah di Negeri Kincir Air itu juga banyak. Pelajar dan mahasiswa dapat mengikuti pendidikan dalam bahasa Belanda dan Inggris. Anak-anak usia 2-3 tahun dapat mengikuti taman kanak-kanak (kleuterschool), dan ketika berumur empat tahun harus masuk sekolah dasar (basisschool).
Pada dasarnya, Belanda mengenal wajib belajar untuk anak usia 2-18 tahun. Wajib belajar enam tahun diperkenalkan pada 1900 (untuk 6-12 tahun). Namun undang-undang ini sering mengalami perubahan, sampai 1969 ketika anak-anak usia 6-16 tahun harus mengikuti pendidikan penuh waktu. Penyandang cacat di atas usia 18 tahun juga harus mengikuti wajib belajar.
Tahun ajaran dimulai 1 Agustus-31 Juli. Di sekolah dasar dan sekolah khusus ada libur enam minggu di musim panas, sedangkan di sekolah lanjutan mendapat liburan tujuh minggu. Masa liburan ini dibagi untuk tiga kawasan, guna menghindari kemacetan lalu lintas.
Seorang anak warga negara Belanda atau bukan warga negara Belanda tetapi orang tuanya bekerja dan membayar pajak, juga mempunyai hak tunjangan anak (kinderbijslag). Besarnya tunjangan ? 174 dibayarkan setiap kuartal oleh Siociale Verzekeringsbank (SVB) sampai anak berusia 18 tahun.
Murid yang studi di sekolah umum, agama, dan netral dibiayai pemerintah dengan anggaran yang sama bila memenuhi persyaratan. Tetapi pada dasarnya murid tidak membayar sekolah, meskipun sekolah diperbolehkan menarik sumbangan pendidikan dari orang tua murid.
Sekolah swasta dibiayai yayasan atau sekolah itu sendiri. Sementara sekolah umum dikelola pemerintah daerah. Keluarga kerajaan biasanya mengikuti pendidikan di sekolah umum. Sekolah agama dikelola suatu dewan yang mengelola pembiayaannya. Berdasarkan agama, terdapat Sekolah Katolik, Protestan, Yahudi, dan Muslim, baik di sekolah dasar, sekolah lanjutan, maupun perguruan tinggi.
Semua sekolah ini, baik sekolah umum, khusus, maupun swasta berada di bawah pengawasan Inspectie van het Onerwijs (Inspeksi Pendidikan). Sekolah dasar dibagi dalam delapan grup. Mereka yang baru masuk dimasukkan dalam grup 2. Grup 1 dan 2 sebelum 1989 disebut taman kanak-kanak.
Pada grup 3, anak-anak mulai diajar membaca, menulis, dan matematika, sedangkan mulai grup 7 anak-anak diajar bahasa Inggris. Tetapi ada juga sekolah yang mengawali bahasa Inggris di grup 4. Pada grup 8 anak-anak harus menempuh tes yang disebut Cito Eindtoets Basisonderwijs (tes akhir pendidikan dasar), sering disingkat menjadi Citotoets.

B.     Jenjang Sekolah Di Belanda
Setamat sekolah dasar, anak dapat melanjutkan ke sekolah lanjutan (voorgezet onderwijs). Berdasarkan hasil Citotoets dan saran kepala sekolah, anak dapat memilih persiapan pendidikan kejuruan menengah (Voorbereid Middelbaar Beroepsonderwijs/VMBO), apakah VMBO HAVO (Hooger Algemeen Voortgezet Onderwijs/Sekolah Lanjutan Atas Umum) atau VWO (Voorbereidend Wetenschappelijk Onderwijs/Sekolah Persiapan Ilmu Pengetahuan) untuk melanjutkan ke universitas.
Apabila guru atau orang tua ragu-ragu untuk memasukkan anak tersebut maka dapat memilih VMBO/HAVO, HAVO/VWO untuk adaptasi. Masa orientasi/adaptasi VMBO/HAVO diperlukan satu tahun, sedangkan di HAVO/VWO dua tahun. Masa orientasi/adaptasi ini di Belanda dikenal sebagai brugklas (secara harfiah berarti kelas jembatan, yang menghubungkan sekolah dasar dan sekolah lanjutan).
Seorang murid yang menggondol ijazah HAVO dapat melanjutkan ke VWO untuk dua tahun, dan setamat dari sini dapat melanjutkan ke perguruan tinggi atau ke HBO (Hoogere Beroeps Onderwijs/Sekolah Tinggi Kejuruan).
VWO dibagi dua, yaitu atenium (selain kurikulum umum, murid harus belajar salah satu dari dua bahasa: Latin atau Yunani) dan gimnasium (murid wajib belajar dua bahasa tambahan: Yunani dan Latin).
Anak-anak yang kurang berminat dan tidak berhasil di HAVO atau VWO dapat diturunkan ke VMBO, dengan tingkat kurikulum yang lebih rendah. Mereka yang mengikuti pendidikan universitas tapi belum menempuh sekolah lanjutan dapat mengikuti VAVO (Voorgezet Algemeen Volwassenen Onderwijs/Sekolah Lanjutan Atas Umum untuk orang dewasa).
Sejak 2008, pendidikan sekolah lanjutan diwajibkan sampai anak usia 18 tahun. MBO (Middelbaar Beroepsonderwijs/Sekolah Menengah Kejuruan) diikuti lulusan VMBO dan dapat diselesaikan dalam 1-4 tahun. Sesudah MBO, murid dapat melanjutkan ke HBO atau langsung bekerja. Sekolah ini kini disebut Regionaal Opleidingencentrum (ROC/Pusat Pendidikan Regional).
Pendidikan tinggi terdiri dari Hogescholen (HBO) untuk profesional dan universitas (untuk penelitian/universiteiten/Wetenschappelijk Onderwijs). Sejak 2002, pendidikan tinggi di Belanda terbagi dalam tiga bagian, yakni sarjana muda (bachelors), Masters, dan PHD. Ada persyaratan yang diperlukan untuk melanjutkan studi baik di sekolah dasar, sekolah lanjutan, ataupun universitas, yakni harus memiliki ijazah.
Guna menjaga mutu pendidikan ada badan khusus. Berdasarkan peraturan pendidikan 2002, program titel harus diakreditasi Organisasi Akreditasi Belanda dan Flanderen. Terlebih lagi, kalau program itu dibiayai oleh negara.

C.    Pinjaman Dana Untuk Peserta Didik
Untuk melanjutkan studi, seorang pelajar atau mahasiswa dapat meminta pinjaman dana belajar (studie financiering) yang diatur Informatie Beheer (Pengatur Dana Belajar). Tentu saja harus memenuhi persyaratan, yaitu terdaftar pada sekolah atau universitas. Selain itu, harus terdaftar dalam bursa prestasi, yang mewajibkan pinjaman itu dikembalikan sesudah studi selesai dengan angsuran tertentu.
Pada 2010 dan 2011, mahasiswa dapat memperoleh pinjaman 853,16 (dalam mata uang Belanda) tiap bulan, maksimal tiga tahun. Pengembalian disertai bunga 2,39 persen, dengan minimal cicilan 45,41 per bulan selama 15 tahun. Memang Belanda bukanlah Belanda kalau pinjaman itu tanpa bunga. Tetapi bagaimana pun juga, tak ada salahnya kalau Indonesia belajar dari sistem pendidikan di Belanda.

D.    Sistem Pendidikan Belanda Yang Pernah Diterapkan Di Indonesia
Dalam konteks ini, pemakalah mencoba mengulas sistem pendidikan Indonesia pada masa Hindia Belanda yang kurikulumnya mengacu pada system pendidikan Belanda, yang menurut kami dapat kita contoh dan terapkan untuk system pendidikan Indonesia dewasa ini. Banyak intelektual – intelektual Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan lahir dari kalangan cerdik pandai hasil didikan sekolah Indonesia bentukan Hindia Belanda. Sebut saja Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, dll. Bahkan Hatta dan Syahir merupakan lulusan dari Universitas di Belanda.
“Pendidikan pada masa itu, walaupun di masa Indonesia belum merdeka namun mampu menciptakan kesadaran moral dan intelektual bagi para pelajarnya”[4]. Dan secara kualitas pun pendidikan setara SMP pada masa itu MULO(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau HBS (Hogere Burger School) yang setara SMA, lulusannya minimal menguasai 3 bahasa asing: Belanda, Inggris dan Prancis. Dapat kita bayangkan betapa luar biasanya lulusan  universitas jika lulusan sekolah menengahnya saja seperti itu.
Apa yang menjadi perbedaan dasar dari system pendidikan dahulu dan sekarang?. Dalam novel Boemi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan kehidupan kaum terpelajar masa Hindia Belanda ada beberapa hal yang membedakan kualitas pendidikan pada masa itu dan sekarang.
Pertama, Sistem Pendidikan yang mengekplorasi kreatifitas. Dengan kreatifitas kita dapat melakukan sesuatu yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh orang kebanyakan, kreatifitas menuntut kita untuk selalu berfikir untuk memecahkan sesuatu masalah dengan berbagai macam cara, dengan berbagai macam sudut pandang. Dan system pendidikan yang mengeksplorasi kreatifitas inilah yang ada masa Hindia Belanda dahulu dan belum muncul pada masa pendidikan sekarang.
Kedua, Sistem pendidikan yang memerdekakan pikiran, pada masa Hindia Belanda, seperti yang diceritakan Pramoedya dalam novelnya memberikan kebebasan penuh kepada pelajarnya untuk mengemukakan pendapatnya, diskusi ilmiah pada masa itu merupakan kegiatan yang lebih mendominasi dibandingkan dengan kegiatan belajar lainnya.
Ketiga, Sistem Pendidikan dengan budaya iterasi. Karena kemampuan mengekspresikan ide dalam bentuk tulisan adalah sebuah bukti mutlak bangsa berperadaban tinggi. Menulis berbagai hal, menuliskan ide-ide besar, menulis tentang sains, budaya, seni. Sejarah mencatat, semua bangsa besar adalah bangsa yang gemar menulis dan membaca. Dengan ketiga perbedaan yang dijelaskan diatas, kita tidak usah sungkan untuk mengadopsi system pendidikan Negara lain, dalam hal ini Belanda sebagai usaha memperbaiki system pendidikan Indonesia.

BAB III
PENUTUP

Sejak tahun 1815 M, Belanda sudah mempunyai sistem pendidikan yang baik dan berkembang terus. Ijazah pendidikan Belanda sangat dihargai di dunia internasional. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi siswa atau mahasiswa asing yang belajar di Belanda.
Pada dasarnya, Belanda mengenal wajib belajar untuk anak usia 2-18 tahun. Wajib belajar enam tahun diperkenalkan pada 1900 (untuk 6-12 tahun). Namun undang-undang ini sering mengalami perubahan, sampai 1969 ketika anak-anak usia 6-16 tahun harus mengikuti pendidikan penuh waktu. Penyandang cacat di atas usia 18 tahun juga harus mengikuti wajib belajar.
Guna menjaga mutu pendidikan diadakan badan khusus. Berdasarkan peraturan pendidikan 2002, program titel harus diakreditasi Organisasi Akreditasi Belanda dan Flanderen. Terlebih lagi, kalau program itu dibiayai oleh negara.
Sebagai bangsa Indonesia, kita tidak usah sungkan untuk mengadopsi system pendidikan Negara lain. Dalam hal ini, Belanda sebagai usaha memperbaiki sistem pendidikan Indonesia, jika 1 abad lalu ketika Indonesia masih dalam keadaan terjajah system pendidikannya mampu melahirkan intetektual terpelajar yang memerdekakan maka harusnya ketika Indonesia sudah merdeka, Intelektual pelajar yang dihasilkan system pendidikan Indonesia bisa jauh lebih baik dari dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Djumransah. “Filsafat Pendidikan”. Malang: Bayumedia, 2006.
Ø  Arifin, H.M. “Ilmu Perbandingan Pendidikan”. Jakarta: Golden Terayon Press. Cet I, 2003.
Ø  Nur, Agustiar Syah. “Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara”. Jakarta: Lubuk Agung. 2001.
Ø  Hamalik, Oemar. “Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum”. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II. 2008.




[1]               Djumransah. “Filsafat Pendidikan”. Malang: Bayumedia, 2006 Hal 32.
[2]               Arifin, H.M. “Ilmu Perbandingan Pendidikan”. Jakarta: Golden Terayon Press. Cet I,2003. Hal 54.
[3]               Nur, Agustiar Syah. “Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara”. Jakarta: Lubuk Agung. 2001, Hal 45.
[4]           Hamalik, Oemar. “Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum”. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II. 2008 Hal 28.





Sabtu, 19 Januari 2013

Pengembangan Kompetensi Dan Tanggung Jawab Guru

A.    Pendahuluan
Guru merupakan suatu pekerjaan profesional, yang memerlukan suatu keahlian khusus. Karena keahliannya bersifat khusus, guru memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam kegiatan pembelajaran, yang akan menentukan mutu pendidikan di suatu satuan pendidikan. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan dan pembelajaran dewasa ini kedudukan guru dalam proses pembelajaran di sekolah belum dapat digantikan oleh alat atau mesin secanggih apapun. Keahlian khusus itu pula yang membedakan profesi guru dengan profesi yang lainnya. Dimana “perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi yang lainnya terletak dalam tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan-kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut tidak lain adalah kompetensi guru” (Saud, 2009 : 44).
Kompetensi dalam profesi guru, pada awalnya dipersiapkan atau diperoleh melalui lembaga pendidikan formal keguruan, sebelum seseorang memangku jabatan (tugas dan tanggung jawab) sebagai guru. Tetapi untuk menuju ke arah pelaksanaan tugas dan tanggungjawab secara profesional, tidaklah cukup dengan berbekal dengan kemampuan yang diperoleh melalui jalur pendidikan formal tersebut. Dalam sebuah karya dikemukakan.
Pada dasarnya pendidikan guru itu bukan berlangsung 3 atau 5 tahun saja, melainkan berlangsung seumur hidup (life long teacher education). Pendidikan yang 3 atau 5 tahun itu adalah pendidikan yang wajib dialami oleh seorang calon guru secara formal. Sedangkan pendidikan sesudah ia bekerja dalam bidang pengajaran, seperti : belajar sendiri, mengikuti penataran, mengadakan penelitian, mengarang buku, aktif dalam organisasi profesi, turut memikul tanggung jawab dalam masyarakat, menonton film, mendengarkan radio, televisi, dan lain-lain. Semua kegiatan itu sangat berharga untuk mengembangkan pengalaman, pengetahuan, keterampilan guru sehingga kemampuan profesionalnya semakin berkembang (Hamalik, 2003 : 123).
Dengan demikian, untuk dapat disebut sebagai profesional, setiap guru harus melakukan pengembangan kompetensinya secara berkesinambungan. Atau sebagaimana dikemukakan oleh Danim (2010 : 3), bahwa “Untuk memenuhi kriteria profesional itu, guru harus menjalani profesionalisasi atau proses menuju derajat profesional yang sesungguhnya secara terus menerus”.
Tuntutan terhadap peningkatan kompetensi secara berkesinambungan disebabkan “Karena substansi kajian dan konteks pembelajaran selalu berkambang dan berubah menurut dimensi ruang dan waktu” (Saud, 2009 : 98). Di samping itu, keharusan bagi setiap guru untuk mengembangkan kompetensinya secara terus-menerus dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab secara profesional, didorong juga oleh perkembangan dalam kehidupan bermasyarakat, perkembangan pemerintahan dan perubahan kurikulum pendidikan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Saud (2009 : 98), berikut ini.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru (pendidik) merupakan suatu keharusan, terlebih lagi apabila kita melihat kondisi objektif saat ini berkaitan dengan berbagai hal yang ditemui dalam melaksanakan pendidikan, yaitu :
1.    Perkembangan Iptek
2.    Persaingan global bagi lulusan pendidikan
3.    Otonomi daerah
4.    Implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Bertolak dari uraian di atas, penulis mencoba untuk memaparkan pengembangan kompetensi guru dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab secara profesional.

B.    Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Tugas (peranan) dan tanggung jawab guru, apabila dikaji secara mendalam dan luas sesungguhnya berat dan kompleks, tidak sesederhana dan semudah yang dibayangkan banyak orang. Peranan dan tanggung jawab guru di setiap satuan pendidikan tidaklah terbatas hanya mendidik dan mengajar saja. Tidak saja dalam hubungannya dengan proses pembelajaran terhadap peserta didik, melainkan juga dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dalam tugas pokok guru tersebut terkandung makna, bahwa dalam proses pembelajaran guru merencanakan dan melaksanakan pembelajaran melalui tugasnya mengajar. Guru memberikan bantuan kepada peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai bagi peserta didik, dilakukan lewat tugas guru membimbing, mendidik, mengarahkan dan melatih. Sedangkan hasil proses pembelajaran yang telah berlangsung (dilaksanakan), diketahui melalui pelaksanaan tugas guru menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, tugas dan tanggung jawab guru menurut Peters, yakni : “(a) guru sebagai pengajar; (b) guru sebagai pembimbing; dan (c) guru sebagai administrator kelas” (Sudjana, 2005 : 15). Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab guru tidak terbatas hanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Tetapi lebih dari itu, tugas dan tanggung jawab guru menyangkut juga administrator kelas. Tugas dan tanggung jawab guru sebagai administrator kelas pada hakekatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. Sejalan dengan itu, Saud (2009 : 32 – 34) menyebutkan tentang tugas dan tanggung jawab guru, yakni:
1.    Guru bertugas sebagai pengajar
2.    Guru bertugas sebagai pembimbing
3.    Guru bertugas sebagai administrator kelas
4.    Guru bertugas sebagai pengembang kurikulum
5.    Guru bertugas untuk mengembangkan profesi
6.    Guru bertugas untuk membina hubungan dengan masyarakat
Guru dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengembang kurikulum membawa implikasi bahwa guru dituntut untuk selalu mencari gagasan-gagasan baru, penyempurnaan praktek pendidikan, khususnya dalam praktek pengajaran. Tugas dan tanggung jawab guru untuk mengembangkan profesi pada dasarnya merupakan tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab profesinya. Dengan kata lain, guru dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuan, kemampuan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas profesinya. Sedangkan tugas dan tanggung jawab guru dalam membina hubungan dengan masyarakat berarti guru harus dapat berperan menempatkan sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat serta sekolah sebagai pembaharu masyarakat.
Adam dan Deckey mengemukakan peranan guru dalam konteks yang lebih luas lagi, meliputi :
1.    Guru sebagai pengajar (teacher as instructor)
2.    Guru sebagai pembimbing (teacher as counsellor)
3.    Guru sebagai ilmuwan (teacher as scientist)
4.    guru sebagai pribadi (teacher as person)
Di samping itu, tanggung jawab lain yang dipikul oleh setiap guru untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, yaitu : menyelenggarakan penelitian; menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila; dan turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia (lihat Hamalik, 2003 : 130 – 132). Tanggung jawab guru melakukan penelitian dimaksudkan agar dapat memperbaiki cara bekerjanya melalui data-data yang dikumpulkan secara kontinu dan intensif. Tanggung jawab guru dalam menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila, menuntut guru untuk memiliki kepribadian Pancasila, dan mengorganisasi suasana belajar sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa mengembangkan sikap, watak, moral dan prilaku yang Pancasilais. Sedangkan tanggung jawab guru untuk turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia, terkandung maksud agar guru memupuk dan menanamkan pada peserta didik untuk memiliki jiwa nasionalisme, dan mengembangkan kesadaran internasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab guru di suatu satuan pendidikan, mencakup antara lain:
1.    Mengembangkan proses merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran.
2.    Membantu peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai bagi peserta didik.
3.    Melaksanakan pengembangan kurikulum sesuai dengan perkembangan.
4.    Melakukan penilaian dan evaluasi untuk mengetahui hasil proses pembelajaran yang telah berlangsung (dilaksanakan).
5.    Melaksanakan pengadministrasian seluruh kegiatan pembelajaran.

C.    Kompetensi Guru
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh seseorang dalam setiap bidang profesi yang ditekuninya. Hal ini juga tidak dapat dipisahkan dalam profesi keguruan, di mana dengan kompetensi yang profesional guru dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Oleh karena itu, kompetensi merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran di suatu satuan pendidikan.
Kompetensi sebagai konsep dapat diartikan secara etimologis dan terminologis. Dalam pengertian etimologis kompetensi dapat dikemukakan bahwa : “Kompetensi berasal dari bahasa Inggris, yakni competency yang berarti kecakapan atau kemampuan. Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu” (Djamarah, 1994 : 33).
Sedangkan secara definitif, kompetensi dapat dijelaskan sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang ahli bahwa : “Kompetensi adalah suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang” (Roestiyah NK, 1986 : 4).
Dalam karya yang berbeda disebutkan bahwa “Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan atau diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak” (Depdiknas, 2003 : 9). Atau dengan kata lain, bahwa “kompetensi itu menunjukkan kepada tindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi (prasyarat) yang diharapkan” (Saud, 2009 : 44).
Apabila pengertian ini dihubungkan dengan proses pendidikan, maka guru sebagai pemegang jabatan pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas dan tagung jawabnya. Untuk itu, seorang guru perlu menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara mengajar serta memiliki kepribadian yang kokoh sebagai dasar kompetensi. Jika guru tidak memiliki kepribadian, tidak menguasai bahan pelajaran serta tidak pula mengetahui cara-cara mengajar, maka guru akan mengalami kegagalan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, kompetensi mutelak dimiliki guru sebagai kemampuan, kecakapan atau keterampilan dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dengan demikian, kompetensi guru berarti pemilikan pengetahuan keguruan dan pemilikan keterampilan serta kemampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, bahwa “Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru berdasarkan PP Nomor 74 Tahun 2008 tersebut, adalah ”Kompetensi Guru sebagaimana meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.
Keempat bidang kompetensi di atas tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dan mempunyai hubungan hirarkhis, artinya saling mendasari satu sama lainnya – kompetensi yang satu mendasari kompetensi yang lainnya (Saud, 2009 : 49). Sedangkan aspek-aspek yang menjadi bagian dari keempat kompetensi tersebut, yang sekaligus menjadi indikator yang harus dicapai oleh setiap guru, sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 itu, adalah berikut ini:
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
1.    Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan.
2.    Pemahaman terhadap peserta didik.
3.    Pengembangan kurikulum atau silabus.
4.    Perancangan pembelajaran.
5.    Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis.
6.    Pemanfaatan teknologi pembelajaran.
7.    Evaluasi hasil belajar.
8.    Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang sebagai berikut:
1.    Beriman dan bertakwa
2.    Berakhlak mulia
3.    Arif dan bijaksana
4.    Demokratis
5.    Mantap
6.    Berwibawa
7.    Stabil
8.    Dewasa
9.    Jujur
10.    Sportif
11.    Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat
12.    Obyektif dalam mengevaluasi kinerja sendiri
13.    Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan Guru sebagai bagian dari Masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk antala lain:
1.    Berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun.
2.    Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional.
3.    Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik.
4.    Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku.
5.    Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan Guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan sebagai berikut:
1.    Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
2.    konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu”.
Demikianlah beberapa aspek yang harus dikuasai guru sebagai kompetensinya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di satuan pendidikan, terutama dalam hubungannya dengan proses pembelajaran. Berdasarkan hal itu, juga dapat diketahui bahwa tidak semua aspek kemampuan dapat diperoleh ketika menuntut pendidikan formal di lembaga profesi keguruan, bahkan beberapa di antaranya tidak pernah diajarkan di lembaga pendidikan formal tersebut. Ada kalanya kompetensi yang telah diperoleh itu, tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau kebutuhan yang ada setelah menjadi guru. Di samping itu, sering kali beberapa aspek kemampuan diperoleh melalui usaha sendiri atau pengalaman ketika telah menjadi guru, dan acap kali beberapa aspek kompetensi baru bisa dipahami dan dapat dilaksanakan setelah melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan atau kegiatan pengembangan lainnya. Oleh karena itu, upaya pengembangan diri guru secara berkesinambungan menjadi amat penting dan menjadi kebutuhan untuk menuju ke arah pelaksanaan tugas dan tanggung jawab keguruan secara profesional.

D.    Pengembangan Kompetensi Guru
Pengembangan profesi guru secara berkesinambungan, “dimaksudkan untuk merangsang, memelihara, dan meningkatkan kompetensi guru dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran yang berdampak pada peningkatan mutu hasil belajar siswa” (Danim, 2010 : 5). Oleh karena itu, peningkatan kompetensi guru untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional di satuan pendidikan, menjadi kebutuhan yang amat mendesak dan tidak dapat ditunda-tunda. Hal ini mengingat perkembangan atau kenyataan yang ada saat ini maupun di masa depan.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang semakin maju dan pesat, menuntut setiap guru untuk dapat menguasai dan memanfaatkannya dalam rangka memperluas atau memperdalam materi pembelajaran, dan untuk mendukung pelekasanaan pembelajaran, seperti penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Perkembangan yang semakin maju tersebut, mendorong perubahan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Kebutuhan yang makin meningkat itu, memicu semakin banyaknya tuntutan peserta didik yang harus dipenuhi untuk dapat memenangkan persaingan di masyarakat. Lebih-lebih dewasa ini, peserta didik dan masyarakat dihadapkan pada kenyataan diberlakukannya pasar bebas, yang akan berdampak pada semakin ketatnya persaingan baik saat ini maupun di masa depan.
Peningkatan kompetensi keguruan, semakin dibutuhkan mengingat terjadinya perkembangan dalam pemerintahan, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Pemberlakukan sistem otonomi daerah itu, juga diikuti oleh perubahan sistem pengelolaan pendidikan dengan menganut pola desentralisasi. “Pengelolaan pendidikan secara terdesenralisasi akan semakin mendekatkan pendidikan kepada stakeholders pendidikan di daerah dan karena itu maka guru semakin dituntut untuk menjabarkan keinginan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan melalui kompetensi yang dimilikinya” (Saud, 2009 : 99).
Perubahan sistem pengelolaan pendidikan, diikuti pula oleh terjadinya perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan. Saat ini telah diberlakukan dan dikembangkan KBK, yang kemudian dijabarkan menjadi KTSP. Dalam kurikulum seperti ini, tidak saja peserta didik yang dituntut untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, melainkan guru juga harus berkompeten, bahkan guru berkewajiban untuk lebih dulu menguasai kompetensi yang dipersyaratkan untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Sebab, “Pendidikan berbasis kompetensi dapat terlaksana dengan baik apabila guru-gurunya profesional dan kompeten” (Suderadjat, 2004 : 14). “Dengan kata lain, berhasil tidaknya reformasi sekolah dalam konteks pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan sangat tergantung pada unjuk kerja gurunya” (Mulyasa, 2010 : 62). Atau sperti yang diungkapkan oleh Sukmadinata (Mulyasa, 2010 : 62), bahwa : “betapa pun bagusnya suatu kurikulum (ofisial), tetapi hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum”.
Pengembangan profesi dan kompetensi guru berkelanjutan, semakin penting dan wajib apabila dikaitkan dengan peningkatan jenjang karier dalam jabatan fungsional guru itu sendiri. Tanpa mengikuti pengembangan diri secara berkelanjutan, sulit dan bahkan tidak mungkin bagi guru untuk menapaki jabatan fungsional yang lebih tinggi. Lebih-lebih setelah lahir dan diberlakukannya Peraturan Menteri (Permen) PAN dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan tertulis ini ditegaskan, bahwa guru yang akan naik pangkat atau menduduki jabatan fungsional dari Guru Pertama Golongan IIIb hingga Guru Utama Golongan IVe harus menulis publikasi ilmiah dan karya inovatif, bahkan guru yang ingin naik jabatan fungsional atau pangkat dari Guru Madya Golongan IVc ke Guru Utama Golongan IVd harus melakukan presentasi ilmiah atas karya inovatif yang telah dihasilkannya.
Dalam upaya mengembangkan profesi dan kompetensi guru dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional, dapat dilakukan melalui beberapa strategi atau model. Pengembangan tenaga kependidikan (guru) “dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training” (Mulyasa, 2004 : 154). Model pengembangan guru ini, dapat diperjelas melalui kutipan berikut.
Pada lembaga pendidikan, cara yang populer untuk pengembangan kemampuan profesional guru adalah dengan melakukan penataran (in service training) baik dalam rangka penyegaran (refreshing) maupun peningkatan kemampuan (up-grading). Cara lain baik dilakukan sendiri-sendiri (informal) atau bersama-sama, seperti : on the job training, workshop, seminar, diskusi panel, rapat-rapat, simposium, konferensi, dan sebagainya (Saud, 2009 : 103).
Pengembangan profesiolnal dan kompetensi guru, bisa juga dilakukan melalui cara informal lainnya, seperti “melalui media massa televisi, radio, koran, dan majalah” (Saud, 2009 : 104). Dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, pengembangan profesionalisme dan kompetensi guru, dapat dikembangkan melalui berbagai alternatif seperti yang ditawarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, sebagai berikut:
1.    Program peningkatan kualifikasi pendidikan guru
2.    Program penyetaraan dan sertifikasi
3.    Program pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi
4.    Program supervisi pendidikan
5.    Program pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)
6.    Simposium guru
7.    Program pelatihan tradisional lainnya
8.    Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah
9.    Berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah
10.    Melakukan penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas)
11.    Magang
12.    Mengikuti berita aktual dari media pemberitaan
13.    Berpartisipasi dan aktif dalam organisasi profesi
14.    Menggalang kerjasama dengan teman sejawat (Saud, 2009 : 105 – 111).
Pengembangan profesional dan kompetensi guru akan sangat berarti atau bernilai guna apabila dilaksanakan terkait langsung dengan tugas dan tanggung jawab utamanya. Pelaksanaan pengembangan tersebut “ideal dilakukan atas dasar prakarsa pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara satuan pendidikan, asosiasi guru, guru secara pribadi, dan lain-lain” (Danim, 2010 : 4). Di samping itu, dapat juga dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan pengguna jasa guru (lihat Saud, 2009 : 121 – 127). Dari kesemua itu, yang paling berperan penting dalam pelaksanaan pengembangan tersebut adalah guru itu sendiri (guru sebagai pribadi). Tuntutan untuk meningkatkan kompetensi guru bila tidak dibarengi dengan kemauan, tekad dan kreativitas yang tumbuh dari diri sendiri, maka akan sia-sia, tidak bermanfaat.
Sehubungan dengan masalah kreativitas, ada beberapa hal yang layak diperhatikan dalam hubungannya dengan kepemimpinan kepala sekolah di satuan pendidikan, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli berikut ini.
Kreativitas secara umum dipengaruhi kemunculannya oleh adanya berbagai kemampuan yang dimiliki, sikap dan minat yang positif serta perhatian yang tinggi terhadap bidang pekerjaan yang ditekuni, di samping kecakapan melaksanakan tugas-tugas. Tumbuhnya kreativitas pada karyawan-karyawan dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya :
1.    Iklim kerja yang memungkinkan para karyawan meningkatkan pengetahuan dan kecakapan dalam melaksanakan tugas.
2.    Kerja sama yang cukup baik antara berbagai personil dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
3.    Pemberian penghargaan dan dorongan terhadap setiap upaya yang bersifat positif.
4.    Perbedaan status yang tidak terlalu tajam di antara personil, sehingga memungkinkan terjalin hubungan yang manusiawi (Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, 1992 : 190).
Dengan demikian penyiapan kondisi yang sedemikian itu menjadi penting bagi setiap individu yang terlibat di dalam lembaga pendidikan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, sehingga dapat pula diharapkan tumbuh suburnya kreativitas yang dapat membawa kemajuan-kemajuan dalam proses pelayanan yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.

E.    Kesimpulan
Tugas dan tanggung jawab guru, sesungguhnya berat dan kompleks, membutuhkan keahlian khusus untuk dapat melaksanakannya dengan baik. Tugas dan tanggung jawab utama guru di suatu satuan pendidikan, mencakup mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Untuk menunjang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pokok tersebut, guru juga dituntut untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab lainnya, yaitu menyangkut administrasi kelas, pengembangan kurikulum, mengembangkan profesi atau bertindak sebagai ilmuwan, membina hubungan dengan masyarakat atau bertindak sebagai penghubung dan pembaharu dalam masyarakat, memiliki kepribadian atau akhlaq yang mantap, serta berkepribadian (berjiwa) Pancasilais dan nasionalis dan memiliki kesadaran internasional.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional, guru dituntut memiliki dan menguasai kemampuan (kompetensi) beserta dengan aspek-aspek yang ada di dalamnya sebagai indikator pencapaian kinerja. Kompetensi tersebut harus dikembangkan secara berkelanjutan. Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang semakin maju dan pesat. Di samping itu, didorong juga oleh meningkatnya kebutuhan dan tuntutan peserta didik dan masyarakat dalam memenangkan persaingan, diterapkannya sistem otonomi daerah, perubahan dalam sistem pengelolaan sekolah dan kurikulum pendidikan, serta untuk kelangsungan peningkatan jenjang karier dalam jabatan fungsional guru.
Menjalani profesionalisasi secara terus menerus dapat dilakukan melalui strategi atau model yang diselenggarakan secara formal maupun non formal, secara sendiri maupun bersama-sama dalam berbagai bidang atau aspek kompetensi yang berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab guru. Pelaksanaan pengembangan profesi dan kompetensi guru seyogyanya difasilitasi oleh pemerintah (pusat dan daerah), penyelenggara satuan pendidikan, asosiasi guru, dan guru secara pribadi. Dalam pelaksanaan pengembangan tersebut sangat tergantung dari adanya kemauan, tekad dan kreativitas yang tumbuh dari diri guru itu sendiri. Untuk menunjang tumbuhnya kreativitas dari diri guru, perlu didukung dan dimotivasi oleh pempinan di satuan pendidikan di mana guru itu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

F.    Daftar Pustaka
1.    Danim, Sudarwan, “Karya Tulis Inovatif Sebuah Pengembangan Profesi Guru”, Penerbit : PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010.
2.    Djamarah, Saiful Bakri, “Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru”, Penerbit : Usaha Nasional, Surabaya, 1994.
3.    Depdiknas, “Manajemen Berbasis Sekolah”, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, 2003.
4.    Hamalik, Oemar, “Proses Belajar Mengajar”, Penerbit : Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
5.    Mulyasa, E, “Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK”, Penerbit : PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004.
6.    Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negera RI Tahun 2008 Nomor 194).
7.    Peraturan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentang “Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya”.
8.    Roestiyah N.K., “Masalah-masalah Ilmu Keguruan”, Penerbit : Bina Aksara, Jakarta, 1986.
9.    Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang “Guru dan Dosen” (Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 157).

Rabu, 09 Januari 2013

Konsep Pendidikan Islam


A.    Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa orientasi pendidikan Islam berusaha mengubah keadaan sesorang dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat.  Sehingga dengan pendidikan orang mengerti akan dirinya plus segala potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat, alam sekitar dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan khaliknya.
Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan, pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan manusia dari generasi ke-generasi maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau penambahan kata Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan semata. Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam sikap dan tikah laku sehari-hari.